APBN 2026 dan Harapan Baru Daerah

Jakarta, 20/9 (ANTARA) - RAPBN 2026 membawa angin segar bagi daerah. Di tengah kegelisahan akibat pemotongan belanja pada tahun sebelumnya, keputusan pemerintah bersama Badan Anggaran DPR RI untuk menambah alokasi transfer ke daerah (TKD) dari Rp650 triliun menjadi Rp693 triliun memberi ruang bernapas, sekaligus sinyal perbaikan desain fiskal pusat–daerah.
Kesepakatan dalam rapat kerja Kamis, 18 September, itu lahir setelah menyerap masukan lintas komisi dan merespons gejolak di lapangan, termasuk kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dilakukan secara drastis oleh sejumlah pemerintah daerah.
Kenaikan PBB memang menjadi salah satu indikator betapa rapuhnya ruang fiskal daerah ketika transfer dari pusat menyusut, sehingga pemerintah kabupaten dipaksa menutup celah layanan dasar dengan kebijakan yang mudah memantik resistensi sosial.
Dalam konteks itulah tambahan Rp43 triliun patut dibaca bukan semata angka, melainkan instrumen menstabilkan pelayanan publik.
Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) menyambut keputusan ini dengan nada lega.
Ketua Umum Apkasi Bursah Zarnubi menyampaikan apresiasi, sekaligus catatan ukurannya.
Ia menilai meski jumlah tambahan ini masih jauh dari ideal yang diharapkan Apkasi sebesar Rp150 triliun, tambahan Rp43 triliun ini sudah sangat membantu. Burzah bersama 20 pengurus Apkasi mengatakannya seusai audiensi dengan Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian di Kantor Kemendagri, Jakarta, Kamis (18/9).
Pernyataan itu menempatkan diskusi pada rel yang tepat bahwa ada terima kasih atas perbaikan, tetapi juga ada kompas ke arah target yang lebih memadai agar fungsi-fungsi layanan dasar tidak sekadar berjalan, namun meningkat kualitasnya.
Kekhawatiran Apkasi bertumpu pada pengalaman pahit tahun sebelumnya. Pemotongan TKD hingga 30 persen memaksa banyak daerah memangkas pos-pos kebutuhan dasar, strategis, dan mandatori, sebuah pukulan telak, terutama bagi kabupaten dengan APBD di bawah Rp1 triliun.
Dengan ruang fiskal menyempit, risikonya adalah penundaan program kesehatan ibu-anak, keterbatasan operasional puskesmas, tersendatnya perbaikan jaringan jalan penghubung desa, hingga pengurangan kegiatan penunjang pendidikan.
Dalam situasi seperti itu, kenaikan TKD menjadi bantalan minimal agar layanan tidak runtuh beruntun.
Hanya saja, sebagaimana diingatkan Bursah Zarnubi, yang juga menegaskan sensitivitas penyaluran, desain penugasan belanja dari pusat harus memberi ruang dialog.
Jika nantinya TKD lebih banyak disalurkan lewat skema bantuan presiden (banpres) atau instruksi presiden (inpres), daerah berharap ada kanal konsultasi agar program yang turun benar-benar cocok dengan kebutuhan nyata masyarakat kabupaten.
Bagi Apkasi, sayang kalau ada inpres, tapi tidak sesuai dengan kebutuhan di daerah, karena manfaatnya tidak bisa dirasakan masyarakat langsung. Pesan ini sederhana, tapi krusial bahwa kebijakan yang baik nilainya bisa pudar jika salah sasaran.
DAU non-earmark
Nada konstruktif juga datang dari Wakil Ketua Umum Apkasi Mochamad Nur Arifin. Bupati Trenggalek itu menggarisbawahi bahwa jika angka TKD sudah final, maka keadilan dan efektivitasnya sangat ditentukan oleh cara menyalurkannya.
Karena itu diusulkan penambahan dana disalurkan melalui skema Dana Alokasi Umum (DAU) non-earmark.
Di atas kertas, DAU non-earmark memberi fleksibilitas bagi daerah untuk mengarahkan anggaran sesuai prioritas dan kebutuhan mendesak yang berubah cepat di lapangan.
Contoh praktisnya jelas bahwa alokasi yang semula terpusat untuk rumah sakit vertikal Kementerian Kesehatan di kota-kota besar akan memberikan dampak yang jauh lebih luas jika sebagian diarahkan ke penguatan puskesmas di kabupaten, terutama untuk mempercepat sistem rujukan dan layanan primer.
Di banyak kabupaten, satu jam lebih cepat dirujuk bisa berarti keselamatan ibu melahirkan, balita gizi buruk, atau pasien gawat darurat. Fleksibilitas bukan lawan akuntabilitas melainkan pasangan yang perlu dipertautkan melalui indikator kinerja dan pelaporan yang transparan.
Apkasi juga mencatat konsekuensi jangka menengah dari penurunan TKD yang drastis bahwa fiskal daerah menyusut, sehingga kemampuan menyerap pinjaman yang sehat untuk proyek produktif ikut tergerus.
Karena itu, pemerintah harus memfasilitasi secara khusus kabupaten yang akan melakukan pinjaman daerah.
Intinya bukan mendorong utang serampangan, melainkan membuka akses atas skema pembiayaan yang terukur untuk proyek infrastruktur layanan dasar, seperti air bersih, sanitasi, jalan produksi, pasar rakyat yang punya arus manfaat jelas bagi ekonomi lokal.
Dengan pendampingan teknis, penilaian kelayakan yang ketat, dan skema berbagi risiko yang adil, pinjaman daerah bisa menjadi alat percepatan, bukan beban yang menjerat.
Di luar desain penyaluran dan pembiayaan, terdapat bom waktu lain yang disorot Apkasi bahwa beban belanja pegawai yang membengkak akibat pembiayaan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) dan tenaga paruh waktu. Ini bukan perkara sederhana.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) mengatur batas belanja pegawai maksimal 30 persen dan berlaku efektif per 1 Januari 2027.
Jika pembiayaan P3K dan tenaga paruh waktu tetap dibebankan ke daerah, tanpa formula dukungan dari pusat, batas 30 persen akan sulit dipatuhi.
Konsekuensinya ganda, yakni layanan publik tertekan dan kepatuhan terhadap regulasi terancam.
Karena itu wajar ketika Apkasi berharap ada skema peringanan, misalnya sebagian pembiayaan P3K ditarik ke pusat atau disubsidi melalui komponen TKD yang didesain khusus agar kabupaten tidak terjebak pada pilihan mustahil antara menaati hukum atau menjaga layanan dasar.
Pendekatan menyeluruh
Langkah tindak lanjut Apkasi setelah bertemu Mendagri menunjukkan pendekatan yang menyeluruh, bukan sekadar mengandalkan satu pintu.
Apkasi akan menjalin komunikasi intensif dengan Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, serta Kementerian Kesehatan.
Tujuannya jelas, yaitu memastikan pelayanan dasar di daerah, termasuk jalan dan jembatan, sekolah, puskesmas tetap berjalan normal melalui penguatan anggaran lintas kementerian/lembaga.
Ini penting karena banyak program sektoral sesungguhnya berlabuh di kabupaten, sehingga sinkronisasi pusat-daerah menentukan kecepatan hasil yang dirasakan warga.
Pada akhirnya, kenaikan TKD sebesar Rp43 triliun dalam RAPBN 2026 adalah langkah maju yang patut diapresiasi, meski belum ideal, tetapi setidaknya menandai kemauan politik untuk mengoreksi ketimpangan beban kerja pelayanan publik yang selama ini menumpuk di daerah.
Namun kualitas dampaknya akan bergantung pada tiga hal mencakup fleksibilitas penyaluran melalui skema semacam DAU non-earmark yang dibarengi akuntabilitas kinerja, fasilitas pembiayaan yang cermat untuk proyek produktif di kabupaten, serta penyelesaian struktural atas beban belanja pegawai P3K agar daerah tidak melanggar UU HKPD per 1 Januari 2027.
Di titik temu tiga hal itulah tambahan anggaran berubah menjadi nilai, di antaranya sekolah yang tidak lagi kekurangan guru, puskesmas yang mampu merujuk cepat, jalan usaha tani yang mengurangi biaya logistik, dan layanan administrasi yang lebih manusiawi.
Hasil kesepakatan Banggar DPR RI dan Pemerintah tentang postur APBN 2026, termasuk penambahan TKD, dijadwalkan dibawa ke Rapat Paripurna DPR pada 23 September 2025. Di sana, angka-angka akan diberi legitimasi politik.
Tetapi di kabupaten-kabupaten dari pesisir hingga pegunungan, legitimasi sesungguhnya diukur oleh satu hal sederhana, yaitu apakah ibu-ibu pulang dari puskesmas dengan obat yang tersedia, apakah anak-anak masuk kelas dengan guru yang hadir, apakah petani membawa pulang selisih lebih karena jalan produksi lebih mulus.
Jika jawabannya ya, maka angin segar APBN 2026 benar-benar menjadi napas baru pembangunan dari desa.
Jika belum, catatan Apkasi dari Bursah Zarnubi hingga Mochamad Nur Arifin menawarkan jalur perbaikan yang konkret untuk ditempuh bersama. (ANTARA/Hanni Sofia)
📬 Berlangganan Newsletter
Dapatkan berita terbaru seputar desa langsung ke email Anda.